Enam Tapol Anti Rasisme lagi jalani sidang di PN Jakarta Pusat. (Dok-NI |
Jayapura, NI/SUARAPAPUA.com --- Hakim ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat diminta membatalkan demi hukum tuduhan dakwaan pasal makar dan pemufakatan jahat yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada para terdakwa enam tahanan politik (Tapol) aktivis anti rasisme yang kini sedang jalani sidang di Jakarta.
Desakan ini disampaikan pelajar dan mahasiswa eksodus Papua se-Indonesia, di Jayapura, Papua, Senin (27/1/2020), menanggapi tidak adanya bukti data soal kedua pasal tersebut yang ditunjukkan JPU, sejak awal persidangan digelar hingga sekarang.
"Agenda demi agenda dari sidang gugatan praperadilan (11/12/19) sampai sidang pokok perkara sekarang, tidak ada data bukti tindakan makar dan pemufakatan jahat ditunjukkan JPU. Untuk itu, kami minta hakim ketua segera bebaskan tanpa syarat (kawan-kawan kami) dengan cara membatalkan demi hukum tuduhan dakwaan yang dituduhkan (JPU)," kata ketua umum mahasiswa eksodus Papua, Eko Philipus Kogoya, kepada suarapapua.com.
Selain data, dikatakan, juga banyak prosedur tidak sah telah dilakukan pihak kepolisian terhadap kawan-kawannya sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
"Misalnya penangkapan yang tidak sesuai protokol penangkapan Polri, penggeladahan tanpa miliki surat izin dari Pengadilan Negeri setempat dan serta penyitaan semena-mena," sebutnya.
Sehingga dua dakwaan yakni pasal 106 KUHP junto pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP mengenai makar dan serta pasal 110 ayat (1) KUHP mengenai pemufakatan jahat yang dijeratkan, akibat melakukan aksi di depan Istana Negara pada 28 Agustus 2019, dituding merupakan tuduhan yang direkayasa.
"Dan tentang itu semua, Kuasa Hukum dari Kualisi Advokasi yang dipimpin bapak Tigor Hutapea sudah menyampaikan (secara terbuka) bahwa tuduhan yang dilimpahkan sangat tidak sesuai isi ketentuan KHUP."
Keenam tersangka tersebut, yakni Ariana Lokbere, Isay Wenda, Dano Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Surya Anta. Mereka ditangkap Polda Metro Jaya pada 30 dan 31 Agustus 2019.
Pendeta Suar Budaya Rahadian, pendamping atau juru bicara keenam tahanan politik Papua, juga menuding keliru seluruh delik pasal makar yang didakwakan kepada kliennya.
Kata dia, karena makar sejatinya adalah serangan langsung bersifat fisik disertai bukti perencanaan akan membunuh kepala negara dengan ditemukan senjata api atau tajam.
"Ini kriteria-kriteria paling mendasar sj dalam persidangan sudah tidak terpenuhi. Jadi dakwaan yang disusun secara logis dan teoritis pun sangat keliru. Ini bukan sekedar tidak membuktikan saja," ujarnya seperti dikutip dalam video di laman YouTube Indoproggres TV, Minggu (19/1/2020).
Untuk diketahui, Keenam tahanan politik Papua tersebut, pada Senin (20/1/2020) lalu, telah mengikuti sidang pokok perkara lanjutan atau yang ke-lima dengan agenda jawaban jaksa atas eksepsi penasihat hukum, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sumber: suarapapua.com
0 Komentar